Rabu, 30 April 2014

Seni Tradisi Yogyakarta

1. WAYANG

Wayang dalam bentuk yang asli merupakan kreasi budaya orang Jawa yang berisi berbagai aspek kebudayaan Jawa. Wayang sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia. Pada jaman Neolitikum pertunjukan wayang awalnya terdiri atas upacara-upacara keagamaan yang berlangsung di malam hari untuk persembahan kepada “Hyang”. Pertunjukan wayang ceritanya menggambarkan jiwa kepahlawanan para nenek moyang yang ada dalam mitologi.
Pada masa sekarang pertunjukan wayang sudah sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertunjukan yang sama dimasa lampau. Dahulu wayang digambarkan sesuai dengan wajah nenek moyang.
Orang Jawa gemar sekali menonton wayang karena ceritanya berisi pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berguna yang dapat dijadikan pedoman dan tuntunan di dalam menjalani hidup di masyarakat. Berdasarkan cerita dan penyajian kira-kira ada 40 jenis wayang yang ada di Indonesia, diantaranya wayang beber, wayang klithik, wayang kulit, wayang krucil dan wayang thengul atau wayang golek. Pementasan wayang selalu diiringi dengan musik gamelan.

2. WAYANG KULIT
Wayang kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu. Wayang kulit kini telah menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia sehingga banyak orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Pertunjukan wayang kulit sampai saat ini tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya disajikan semalam suntuk.

3. WAYANG WONG

Wayang Wong berarti wayang yang diperankan oleh manusia. Ceritanya juga hampir sama dengan cerita-cerita pada wayang kulit namun dalangnya disamping sebagai piƱata cerita tetapi juga sekaligus sebagai sutradara panggung.
WAYANG THENGUL / WAYANG GOLEK
Wayang Thengul/Wayang Golek adalah wayang berbentuk boneka dari kayu. ceritanya berasal dari kisah Menak. Orang suka menonton wayang ini karena gerakan-gerakan boneka kayu yang didandani persis manusia ini sangat mirip dengan gerakan orang.

4. WAYANG KLITHIK

Wayang ini dibuat dari kayu papan dan nama ini berasal dari suara klithik-klithik sewaktu dimainkan dan biasanya ceritanya adalah Damarwulan.

5. KETHOPRAK

Kethoprak adalah kesenian tradisional yang penyajiannya dalam bahasa Jawa ceritanya bermacam-macam berisi dialog tentang sejarah sampai cerita fantasi serta biasanya selalu didahului dengan tembang Jawa. Kostum dan dandanannya menyesuaikan dengan adegan dan jalan cerita serta selalu diiringi dengan irama gamelan dan keprak.

6. KARAWITAN

Musik gamelan tradisional Jawa yang dimainkan oleh sekelompok Wiyaga dan diiringi oleh nyayian dari Waranggono dan Wiraswara biasanya disebut ‘Uyon-uyon’, sedangkan kalau tanpa diiringi oleh nyayian dari Waranggono atau Wiraswara disebut ‘Soran’.

7. JATHILAN


Merupakan tarian yang penarinya menggunakan kuda kepang dan dilengkapi unsur magis. Tarian ini digelar dengan irinhgan beberapa jenis alat gamelan seperti Saron, kendang dan gong.

8. SENDRATARI RAMAYANA.

Salah satu sendratari yang terkenal adalah sendratari Ramayana. Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan antara pekerti yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama dari negara Ayodyapala) melawan sifat jahat yang terjelma dalamdiri Rahwana (Maharaja angkara murka dari negara Alengka)
Sendaratari Ramayana dipentaskan di Panggung Terbuka Prambanan secara rutin pada bulan Meisampai Oktober, masing-masing dalam 4 (empat) episode yaitu :
Episode satu: Hilangnya Dewi Shinta
Episode dua:Hanoman Duta
Episode Ketiga:Kumbokarno Leno atau gugurnya Pahlawan Kumbokarno
Episode Keempat: Api suci
 
9. LANGEN MANDRA WANARA



Langen Mandra Wanara yang merupakan kombinasi antara berbagai jenis tarian, tembang, drama dan irama gamelan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional Yogyakarta. Karakteristik tarian ini adalah para penarinya berdiri dengan lutut atau jengkeng sambil berdialog dan menyanyi ‘mocopat’. Cerita langen mandra wanara diambil dari kisah ramayana dengan lebih banyak menampilkan wanara/kera.

Seni Tradisi Surakarta

Seni tradisi adalah suatu bentuk seni yang menjadi adat, kebiasaan dan menjadi ciri khas suatu daerah. Membahas seni tradisi di Surakarta maka sejarah perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan dengan keberadaan keraton sebagai sumbernya. Di Surakarta yang merupakan kota budaya banyak sekali terdapat bermacam-macamseni tradisi dan kebanyakan seni tradisi di Surakarta merupakan perpaduan antara seni karawitan, seni tari, seni drama maupun seni seni pedhalangan serta tembang.

Macam-macam Seni Tradisi di Surakarta :

1. Tari Bedhaya.

Tari Bedhaya di Surakarta merupakan salah satu contoh tari tradisi masa lampau yang tumbuh di istana dengan berbagai filosofis dan simboliknya, juga merupakan salah satu aktivitas religius kaum bangsawan dan bersifat Syiwaitis, yaitu kepercayaan kepada Dewa Syiwa. Dengan demikian diperkirakan Tari Bedhaya dilatarbelakangi pemikiran Hindu Jawa. Dalam penyajiannya Tari Bedhaya dapat disajikan dengan 7 penari maupun 9 penari. 7 penari melambangkan 7 bidadari di kahyangan, sedangkan 9 penari merupakan simbolik dari 9 lubang kehidupan atau dapat juga karena pengaruh dari agama Islam yaitu adanya Wali Sanga.
Tari Bedhaya dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang karena berhubungan dengan alam ghaib yaitu hubungan mistis antara keturunanPanembahan Senapati sebagai Raja Mataram dengan penguasa ratu laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini diawali ketika Panembahan Senapati bertapa, mengakibatkan kekacauan dan ketidaktentraman wilayah laut selatan, maka Kanjeng Ratu Kidul memohon agar Panembahan Senapati menghentikan bertapanya dengan pernyataan bahwa Kanjeng Ratu Kidul dan bala tentaranya akan selalu membantu apabila Panembahan Senapati memerlukan dan keduanya kemudian menjalin hubungan asmara. Tari Bedhaya Ketawang di Kraton Kasunanan Surakarta pementasannya hanya pada waktu upacara 'Jumenengan' (ulang tahun raja menduduki tahta) ditarikan oleh 9 penari putri dengan karakter putri halus, tanpa antawacana menggunakan rias busana sama / kembar yaitu basahan atau dodot ageng dan tata rias seperti temanten jawa lengkap dengan paes serta gelung bokor mengkurep. Sedangkan dari Keraton Yogyakarta, Bedhaya yang masih dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Semang. Macam-macam Tari Bedhaya antara lain Bedhaya Pangkur, Bedhaya Sinom, Bedhaya Duradasih, Bedhaya Mangunharja, Bedhaya La-la dan lain sebagainya. Adapun kata di belakang Bedhaya menunjukkan nama gendhing iringannya.
2.     Tari Srimpi
Tari Srimpi juga merupakan tari tradisi klasik dari Keraton Surakarta yang sarat dengan makna simbolik, ditarikan oleh 4 orang penari putri yang merupakan simbol dari empat arah mata angin atau juga bisa pengaruh kasta pada agama Hindu, dengan karakter putri halus dan pakaian kembar, tidak menggunakan antawacana. Tari Srimpi yang masih dianggap sakral di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Tari Srimpi Angelir Mendhung, sebab tarian ini merupakan suatu doa permohonan yang ditarikan pada saat kemarau panjang dengan harapan setelah selesai ditarikan akan segera turun hujan. Busana pada Tari Srimpi menggunakan jarik / kain model samparan dengan baju rompi atau mekak dan berjamang. Macam-macam Tari Srimpi antara lain Tari Srimpi Dhempel, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gondokusuma, Srimpi Gambirsawit, dan lain sebagainya. Sama seperti Tari Bedhaya, kata di belakang Srimpi menunjukkan nama gendhing iringannya.
3. Tari Gambyong

Tari Gambyong merupakan tari tradisi Surakarta yang biasa digunakan untuk berbagai macam acara antara lain acara resepsi pernikahan, penghormatan tamu, pentas seni dan lain sebagainya. Tari Gambyong merupakan penggambaran dari seorang remaja putri yang berhias diri. Busana pada Tari Gambyong biasanya menggunakan jarik model wiru putri dengan angkin dan gelung malang. Sedangkan kata di belakang Tari Gambyong menunjukkan nama gendhing atau iringannya. Macam-macam Tari Gambyong antara lain Gambyong Pareanom, Gambong Ayun-Ayun, Gambyong Pancerana dan lain sebagainya.
4. Tari Golek

Mengacu pada Tari Golek, Tari Golek berasal dari kata golekan yang artinya boneka dari kayu, dan apabila anak-anak perempuan bermain golekan atau boneka maka cenderung boneka tersebut dirias baik wajah, rambut maupun bajunya agar kelihatan lebih menarik, yang kemudian anak tersebut ikut berdandan juga dan aktivitas berain tersebut dapat menumbuhkan kreativitas pada anak-anak, maka hingga sekarang kita mengenal Tari Golek sebagai tari tradisi di Surakarta yang menggambarkan seorang anak yang sedang berdandan atau berhias diri dengan karakter putri endhel (lincah) dan busana jarik sonder / wiru di samping, baju rompi dengan menggunakan jamang. Seperti pada Tari Gambyong, lata di belakang Golek menunjukkan nama gendhing iringannya. Macam-macam Tari Golek antara lain Golek Manis, Golek Mugirahayu, Golek Surungdhayung, Golek Sukaretna, Golek Tirtakencana, Golek Sri Rejeki, dan lain sebagainya.
5. Wayang Orang
Wayang orang adalah seni pertunjukan yang memadukan tiga tiga cabang kesenian yaitu tari, drama, dan karawitan. Wayang orang disebut juga wayang wong lahir pada pertengahan abad XVIII di dua istana yaitu di Yogyakarta dan Surakarta kemudian berkembang di luar istana. Wayang orang merupakan personifikasi dari wayang kulit yang terlihat jelas dari berbagai aspek antara lain sumber cerita, penggolongan karakter, karawitan, antawacana (dialog), peranan dialog dan busana serta tata riasnya. Sumber cerita baik di Surakarta maupun Yogyakarta mengambil cerita Mahabarata ataupun Ramayana dan kedua sumber tersebut bisa dibagi menjadi beberapa episode serta beberapa jenis lakon antara lain :
1.      Lakon Baku adalah lakon yang diangkat dari cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
2.     Lakon Carangan adalah lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
Dalam penyajiannya wayang wong menggunakan gerak tari tradisi dengan norma gerak sesuai masing-masing karakter pada tokohnya. Wayang orang diiringi karawitan dan dibantu seorang dalang yang bertugas mengatur jalannya pertunjukan agar lebih jelas alur ceritanya.
Adapun tugas pokok dalang dalam wayang orang adalah :
1.      Memberi narasi tentang apa yang telah dan akan terjadi.
2.     Mengisi suasana adegan dengan vokal yang berupa suluk, sendon atau ada-ada.
3.     Memberikan tanda-tanda lewat vokal maupun bunyi kecrek dan keprak pada pemain.
Rias dan busana pada wayag orang identik dengan busana pada wayang kulit di Surakarta, maka sering disebut rias baku yaitu rias yang tidak dapat diubah. Sebagai contoh Anoman dan Gatutkaca harus mengenakan jarik motif poleng. Bentuk jamang / irah-irahan yang dikenakan oleh masing-masing tokoh juga dibedakan menurut kedudukannya, misalnya jamang susun tiga untuk raja, jamang berbentuk runcing (lancip) untuk peran yang mbranyak / keras dan jamang berelung-relung (lung) untuk peranan lembut. Khusus untuk peranan raksasa dan kera menggunakan cangkeman (tiruan mulut) yang dikenakan untuk menutup mulut dan dikaitkan pada kedua telinga. Sedangkan antawacana / dialog yang digunakan sama seperti dialog pada wayang kulit yakni dengan menggunakan bahasa jawa kawi, bahasa jawa ngoko maupun krama sesuai dengan tokoh pada wayang tersebut.
6. Kethoprak

Kethoprak adalah sebuah bentuk teater jawa dengan unsur utama dialog, tembang, dan dagelan / lawakan. Para pemain terdiri dari pria dan wanita yang diiringi dengan gamelan jawa. Rias dan busananya tidak baku atau dapat di kreasi menyesuaikan cerita. Gerakan cenderung realistik, tidak menggunakan gerak tari, hanya pada adegan tertentu terkadang ada sedikit unsur tarinya. Cerita yang dibawakan mengambil dari dongeng, babad, sejarah, cerita rakyat, bahkan terkadang cerita asing. Kethoprak awal mulanya tidak diiringi gamelan jawa tetapi dengan iringan dari permainan lesung (alat penumbuk padi).
7. Langendriyan

Langendriyan adalah drama tari yang dialognya mengunakan tembang dan tidak menekankan pada gerak teri tetapi lebih menekankan pada seni suara atau olah vokal. Langendriyan berasal dari kata lango (hiburan) dan driya (hati) maka langendriyan berarti pertunjukan penghibur hati. Langendriyan lahir pada abad ke XIX di Surakarta dan disebut Langendriyan Mandraswara diciptakan oleh RMH Tondokusuma pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV, lahirnya Langendriyan atas permohonan seorang warga keturunan Jerman bernama Gotlieb seorang pengusaha batik dimana setiap harinya Gotlieb mendengar buruh-buruhnya bekerja sambil melantunkan tembang saling bersahutan. Selanjutnya oleh Mangkunegara IV Langendriyan diangkat sebagai suatu kesenian di istana dan dipentaskan pertama kali pada perayaan jumenengan KGPAA Mangkunegara ke V. Pada mulanya pemain langendriyan adalah putri semua dengan mengambil cerita rakyat Babad Majapahit dengan tokoh-tokoh antara lain Ratu Ayu Kencana Wungu, Menak Jingga, Damarwulan, Anjasmara, Dayun dan lain sebagainya. Di Yogyakarta juga berkembang langendriyan gaya Yogyakarta atau disebut Langenmandrawanara dengan cerita Ramayana dan posisi menari berjongkok dengan penari putra.
8. Sendratari

Sendratari adalah rangkaian cerita yang terdiri dari beberapa adegan yang dilakukan dengan gerakan tari terpadu dan tanpa dialog. Pada sendratari penekanannya pada keterpaduan antara gerak tari dengan penghayatan dramatisasi perannya. Sendratari merupakan singkatan dari seni drama dan tari.
9. Fragmen

Fragmen adalah rangkaian cerita yang hanya satu atau dua adegan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan tari dan dapat menggunakan dialog atau tanpa dialog.
10. Wayang Kulit / Wayang Purwa
Wayang kulit adalah bentuk kesenian yang menempatkan dalang sebagai tokoh utamanya dengan cerita Mahabarata dan Ramayana dengan iringan gamelan lengkap dan biasanya sampai semalam suntuk. Pada perkembangannya sekarang wayang kulit bisa di variasikan dengan bermacam-macam antara lain pelawak, penyanyi ataupun ditambah dengan musik diatonis, juga durasi waktu pertunjukan dapat diringkas atau dipadatkan menjadi lebih kurang tiga jam yang disebut dengan pakeliran padat.
11. Sekaten

Sekaten merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Hingga saat ini menjadi suatu upacara adat Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu pada setiap Bulan Mulud dengan membunyikan gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu yang ditempatkan di bangsal sebelah utara dan selatan halaman Masjid Agung Surakarta. Gamelan tersebut dibunyikan dari tanggal 6 sampai dengan 12 (kalender jawa) setiap hari dari siang sampai malam hari.

Tari Srimpi Sangopati


Tarian srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja.
Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangupati.  Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian srimpi sangopati.
Sesungguhnya sajian tarian srimpi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu berarti bekal untuk mati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan.Pakubuwono IX terkenal sebagai raja amat berani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.
Sebetulnya sikap berani menentang Belanda dilandaskan atas peristiwa yang menyebabkan kematian ayahnya yaitu Pakubuwono VI (pahlawan nasional Indonesia) yang meninggal akibat hukuman mati ditembak Belanda saat menjalani hukuman dibuang keluar pulau Jawa saat Pakubuwono VI meninggal Pakubuwono IX yang seharusnya menggantikan menjadi raja saat itu masih berada didalam kandungan ibunda prameswari GKR Ageng disebabkan masih dalam kandungan usia 3 bulan maka setelah Pakubuwono ke VI meninggal yang menjadi raja Pakubuwono VII adalah paman Pakubuwono IX ketika Pakubuwono VII meninggal yang menggantikan kedudukan sebagai raja adalah paman Pakubuwono IX sebagai Pakubuwono VII. Baru setelah Pakubuwono VIII meninggal Pakubuwono menuruskan IX meneruskan tahta kerajaan ayahandanya Pakubuwono VI sebagai raja yang ketika itu beliau berusia 31 tahun.
Setelah Pakubuwono IX meninggal 1893 dalam usia 64 tahun beliau digantikan putranya Pakubuwono X atas kehendak Pakubuwono X inilah tarian Srimpi Sangupati yang telah diganti nama oleh ayahanda Pakubuwono IX menjadi srimpi Sangapati , dengan maksud agar semua perbuatan maupun tingkah laku manusia hendaknya selalu ditunjukkan untuk menciptakan dan memelihara keselamatan maupun kesejahteraan bagi kehidupan. Hal ini nampak tercermin dalam makna simbolis dari tarian srimpi sangopati yang sesungguhnya menggambarkan dengan jalan mengalahkan hawa nafsu yang selalu menyertai manusia dan berusaha untuk saling menang menguasai manusia itu sendiri.
Salah satu kekayaan Keraton kasunanan Surakarta ini tengah diupayakan konservasinya adalah berbagai jenis tarian yang sering menghiasi dan menjadi hiburan pada berbagai acara yang digelar di lingkungan keraton. Dari berbagai jenis tarian tersebut yang terkenal sampai saat ini adalah tari Serimpi Sangupati. Penamaan Sangupati sendiri ternyata merupakan salah satu bentuk siasat dalam mengalahkan musuh.
Tarian ini  sengaja di tarikan  sebagai salah satu bentuk politik untuk menggagalkan perjanjian yang akan diadakan dengan pihak Belanda pada masa itu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar pihak keraton tidak perlu melepaskan daerah pesisir pantai utara dan beberapa hutan jati yang ada, jika perjanjian dimaksudkan bisa digagalkan.
Tarian Serimpi Sangaupati sendiri merupakan tarian yang dilakukan 4 penari wanita dan di tengah-tengah tariannya dengan keempat penari tersebut dengan keahliannya kemudian memberikan minuman keras kepada pihak Belanda dengan memakai gelek minuman.
Ternyata taktik yang dipakai saat sangat efektif, setidaknya bisa mengakibatkan pihak Belanda tidak menyadari kalau dirinya dikelabui. Karena terlanjur terbuai dengan keindahan tarian ditambah lagi dengan semakin banyaknya minuman atau arak yang ditegak maka mereka (Belanda) kemudian mabuk. Buntutnya, perjanjian yang sedianya akan diadakan akhirnya berhasil digagalkan. Dengan gagalnya perjanjian tersebut maka beberapa daerah yang disebutkan diatas dapat diselamatkan.
Namun demikian yang perlu digarisbawahi dalam tarian ini adalah keberanian para prajurit puteri tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh penari serimpi itu. Karena jika siasat itu tercium oleh Belanda, maka yang akan menjadi tumbal pertama adalah mereka para penari tersebut.
Boleh dibilang mereka adalah prajurit di barisan depan yang menjadi penentu berhasil dan tidaknya misi menggagalkan perjanjian tersebut. Sehingga untuk mengaburkan misi sebenarnya yang ada dalam tarian tersebut maka nama tari itu disebut dengan Serimpi Sangaupati yang diartikan sebagai sangu pati.
Saat ini Serimpi Sangaupati masih sering ditarikan, namun hanya berfungsi sebagai sebuah tarian hiburan saja. Dan adegan minum arak yang ada dalam tari tersebut masih ada namun hanya dilakukan secara simbol; saja, tidak dengan arak yang sesungguhnya.
Perjanjian antara Keraton Kasunanan Surakarta dengan pihak Belanda tersebut yang terjadi sekitar tahun 1870-an. (Sumber) <=== klik here


Tari Bedhaya Ketawang



Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).

Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
 

Tradisi Sekaten di Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah

Tradisi Sekaten adalah Tradisi yang masih dilestarikan sampai sekarang, khususnya di Kota Surakarta dan Yogyakarta, dll.

Sekaten SOLO Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah.

Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan.

Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo 2007. Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur. Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh.

Maleman Sekaten sendiri oleh wali sanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.

Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar.

Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
1. Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
2. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi
Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
3. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton.
Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung
4. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung
Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).