Seni
tradisi adalah suatu bentuk seni yang menjadi adat, kebiasaan dan
menjadi ciri khas suatu daerah. Membahas seni tradisi di Surakarta maka
sejarah perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan dengan
keberadaan keraton sebagai sumbernya. Di Surakarta yang merupakan kota
budaya banyak sekali terdapat bermacam-macamseni tradisi dan kebanyakan
seni tradisi di Surakarta merupakan perpaduan antara seni karawitan,
seni tari, seni drama maupun seni seni pedhalangan serta tembang.
Macam-macam Seni Tradisi di Surakarta :
1. Tari Bedhaya.
Tari
Bedhaya di Surakarta merupakan salah satu contoh tari tradisi masa
lampau yang tumbuh di istana dengan berbagai filosofis dan simboliknya,
juga merupakan salah satu aktivitas religius kaum bangsawan dan
bersifat Syiwaitis, yaitu kepercayaan kepada Dewa Syiwa. Dengan demikian
diperkirakan Tari Bedhaya dilatarbelakangi pemikiran Hindu Jawa. Dalam
penyajiannya Tari Bedhaya dapat disajikan dengan 7 penari maupun 9
penari. 7 penari melambangkan 7 bidadari di kahyangan, sedangkan 9
penari merupakan simbolik dari 9 lubang kehidupan atau dapat juga
karena pengaruh dari agama Islam yaitu adanya Wali Sanga.
Tari
Bedhaya dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dianggap sakral adalah
Tari Bedhaya Ketawang karena berhubungan dengan alam ghaib yaitu
hubungan mistis antara keturunanPanembahan Senapati sebagai Raja Mataram
dengan penguasa ratu laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini
diawali ketika Panembahan Senapati bertapa, mengakibatkan kekacauan dan
ketidaktentraman wilayah laut selatan, maka Kanjeng Ratu Kidul memohon
agar Panembahan Senapati menghentikan bertapanya dengan pernyataan
bahwa Kanjeng Ratu Kidul dan bala tentaranya akan selalu membantu
apabila Panembahan Senapati memerlukan dan keduanya kemudian menjalin
hubungan asmara. Tari Bedhaya Ketawang di Kraton Kasunanan Surakarta
pementasannya hanya pada waktu upacara 'Jumenengan' (ulang tahun raja
menduduki tahta) ditarikan oleh 9 penari putri dengan karakter putri
halus, tanpa antawacana menggunakan rias busana sama / kembar yaitu
basahan atau dodot ageng dan tata rias seperti temanten jawa lengkap
dengan paes serta gelung bokor mengkurep. Sedangkan dari Keraton
Yogyakarta, Bedhaya yang masih dianggap sakral adalah Tari Bedhaya
Semang. Macam-macam Tari Bedhaya antara lain Bedhaya Pangkur, Bedhaya
Sinom, Bedhaya Duradasih, Bedhaya Mangunharja, Bedhaya La-la dan lain
sebagainya. Adapun kata di belakang Bedhaya menunjukkan nama gendhing
iringannya.
2. Tari Srimpi
Tari
Srimpi juga merupakan tari tradisi klasik dari Keraton Surakarta yang
sarat dengan makna simbolik, ditarikan oleh 4 orang penari putri yang
merupakan simbol dari empat arah mata angin atau juga bisa pengaruh
kasta pada agama Hindu, dengan karakter putri halus dan pakaian kembar,
tidak menggunakan antawacana. Tari Srimpi yang masih dianggap sakral
di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Tari Srimpi Angelir Mendhung,
sebab tarian ini merupakan suatu doa permohonan yang ditarikan pada
saat kemarau panjang dengan harapan setelah selesai ditarikan akan
segera turun hujan. Busana pada Tari Srimpi menggunakan jarik / kain
model samparan dengan baju rompi atau mekak dan berjamang. Macam-macam
Tari Srimpi antara lain Tari Srimpi Dhempel, Srimpi Ludiramadu, Srimpi
Gondokusuma, Srimpi Gambirsawit, dan lain sebagainya. Sama seperti Tari
Bedhaya, kata di belakang Srimpi menunjukkan nama gendhing iringannya.
3. Tari Gambyong
Tari
Gambyong merupakan tari tradisi Surakarta yang biasa digunakan untuk
berbagai macam acara antara lain acara resepsi pernikahan, penghormatan
tamu, pentas seni dan lain sebagainya. Tari Gambyong merupakan
penggambaran dari seorang remaja putri yang berhias diri. Busana pada
Tari Gambyong biasanya menggunakan jarik model wiru putri dengan angkin
dan gelung malang. Sedangkan kata di belakang Tari Gambyong
menunjukkan nama gendhing atau iringannya. Macam-macam Tari Gambyong
antara lain Gambyong Pareanom, Gambong Ayun-Ayun, Gambyong Pancerana
dan lain sebagainya.
4. Tari Golek
Mengacu
pada Tari Golek, Tari Golek berasal dari kata golekan yang artinya
boneka dari kayu, dan apabila anak-anak perempuan bermain golekan atau
boneka maka cenderung boneka tersebut dirias baik wajah, rambut maupun
bajunya agar kelihatan lebih menarik, yang kemudian anak tersebut ikut
berdandan juga dan aktivitas berain tersebut dapat menumbuhkan
kreativitas pada anak-anak, maka hingga sekarang kita mengenal Tari
Golek sebagai tari tradisi di Surakarta yang menggambarkan seorang anak
yang sedang berdandan atau berhias diri dengan karakter putri endhel
(lincah) dan busana jarik sonder / wiru di samping, baju rompi dengan
menggunakan jamang. Seperti pada Tari Gambyong, lata di belakang Golek
menunjukkan nama gendhing iringannya. Macam-macam Tari Golek antara
lain Golek Manis, Golek Mugirahayu, Golek Surungdhayung, Golek
Sukaretna, Golek Tirtakencana, Golek Sri Rejeki, dan lain sebagainya.
5. Wayang Orang
Wayang
orang adalah seni pertunjukan yang memadukan tiga tiga cabang kesenian
yaitu tari, drama, dan karawitan. Wayang orang disebut juga wayang
wong lahir pada pertengahan abad XVIII di dua istana yaitu di Yogyakarta
dan Surakarta kemudian berkembang di luar istana. Wayang orang
merupakan personifikasi dari wayang kulit yang terlihat jelas dari
berbagai aspek antara lain sumber cerita, penggolongan karakter,
karawitan, antawacana (dialog), peranan dialog dan busana serta tata
riasnya. Sumber cerita baik di Surakarta maupun Yogyakarta mengambil
cerita Mahabarata ataupun Ramayana dan kedua sumber tersebut bisa
dibagi menjadi beberapa episode serta beberapa jenis lakon antara lain :
1. Lakon Baku adalah lakon yang diangkat dari cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
2. Lakon Carangan adalah lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
Dalam
penyajiannya wayang wong menggunakan gerak tari tradisi dengan norma
gerak sesuai masing-masing karakter pada tokohnya. Wayang orang
diiringi karawitan dan dibantu seorang dalang yang bertugas mengatur
jalannya pertunjukan agar lebih jelas alur ceritanya.
Adapun tugas pokok dalang dalam wayang orang adalah :
1. Memberi narasi tentang apa yang telah dan akan terjadi.
2. Mengisi suasana adegan dengan vokal yang berupa suluk, sendon atau ada-ada.
3. Memberikan tanda-tanda lewat vokal maupun bunyi kecrek dan keprak pada pemain.
Rias
dan busana pada wayag orang identik dengan busana pada wayang kulit di
Surakarta, maka sering disebut rias baku yaitu rias yang tidak dapat
diubah. Sebagai contoh Anoman dan Gatutkaca harus mengenakan jarik motif
poleng. Bentuk jamang / irah-irahan yang dikenakan oleh masing-masing
tokoh juga dibedakan menurut kedudukannya, misalnya jamang susun tiga
untuk raja, jamang berbentuk runcing (lancip) untuk peran yang mbranyak
/ keras dan jamang berelung-relung (lung) untuk peranan lembut. Khusus
untuk peranan raksasa dan kera menggunakan cangkeman (tiruan mulut)
yang dikenakan untuk menutup mulut dan dikaitkan pada kedua telinga.
Sedangkan antawacana / dialog yang digunakan sama seperti dialog pada
wayang kulit yakni dengan menggunakan bahasa jawa kawi, bahasa jawa
ngoko maupun krama sesuai dengan tokoh pada wayang tersebut.
6. Kethoprak
Kethoprak
adalah sebuah bentuk teater jawa dengan unsur utama dialog, tembang,
dan dagelan / lawakan. Para pemain terdiri dari pria dan wanita yang
diiringi dengan gamelan jawa. Rias dan busananya tidak baku atau dapat
di kreasi menyesuaikan cerita. Gerakan cenderung realistik, tidak
menggunakan gerak tari, hanya pada adegan tertentu terkadang ada sedikit
unsur tarinya. Cerita yang dibawakan mengambil dari dongeng, babad,
sejarah, cerita rakyat, bahkan terkadang cerita asing. Kethoprak awal
mulanya tidak diiringi gamelan jawa tetapi dengan iringan dari
permainan lesung (alat penumbuk padi).
7. Langendriyan
Langendriyan
adalah drama tari yang dialognya mengunakan tembang dan tidak
menekankan pada gerak teri tetapi lebih menekankan pada seni suara atau
olah vokal. Langendriyan berasal dari kata lango (hiburan) dan driya
(hati) maka langendriyan berarti pertunjukan penghibur hati.
Langendriyan lahir pada abad ke XIX di Surakarta dan disebut
Langendriyan Mandraswara diciptakan oleh RMH Tondokusuma pada
pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV, lahirnya Langendriyan atas
permohonan seorang warga keturunan Jerman bernama Gotlieb seorang
pengusaha batik dimana setiap harinya Gotlieb mendengar buruh-buruhnya
bekerja sambil melantunkan tembang saling bersahutan. Selanjutnya oleh
Mangkunegara IV Langendriyan diangkat sebagai suatu kesenian di istana
dan dipentaskan pertama kali pada perayaan jumenengan KGPAA
Mangkunegara ke V. Pada mulanya pemain langendriyan adalah putri semua
dengan mengambil cerita rakyat Babad Majapahit dengan tokoh-tokoh
antara lain Ratu Ayu Kencana Wungu, Menak Jingga, Damarwulan,
Anjasmara, Dayun dan lain sebagainya. Di Yogyakarta juga berkembang
langendriyan gaya Yogyakarta atau disebut Langenmandrawanara dengan
cerita Ramayana dan posisi menari berjongkok dengan penari putra.
8. Sendratari
Sendratari
adalah rangkaian cerita yang terdiri dari beberapa adegan yang
dilakukan dengan gerakan tari terpadu dan tanpa dialog. Pada sendratari
penekanannya pada keterpaduan antara gerak tari dengan penghayatan
dramatisasi perannya. Sendratari merupakan singkatan dari seni drama
dan tari.
9. Fragmen
Fragmen
adalah rangkaian cerita yang hanya satu atau dua adegan yang dilakukan
dengan gerakan-gerakan tari dan dapat menggunakan dialog atau tanpa
dialog.
10. Wayang Kulit / Wayang Purwa
Wayang
kulit adalah bentuk kesenian yang menempatkan dalang sebagai tokoh
utamanya dengan cerita Mahabarata dan Ramayana dengan iringan gamelan
lengkap dan biasanya sampai semalam suntuk. Pada perkembangannya
sekarang wayang kulit bisa di variasikan dengan bermacam-macam antara
lain pelawak, penyanyi ataupun ditambah dengan musik diatonis, juga
durasi waktu pertunjukan dapat diringkas atau dipadatkan menjadi lebih
kurang tiga jam yang disebut dengan pakeliran padat.
11. Sekaten
Sekaten
merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pada zaman dahulu
digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Hingga saat ini
menjadi suatu upacara adat Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu pada
setiap Bulan Mulud dengan membunyikan gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai
Guntur Madu yang ditempatkan di bangsal sebelah utara dan selatan
halaman Masjid Agung Surakarta. Gamelan tersebut dibunyikan dari
tanggal 6 sampai dengan 12 (kalender jawa) setiap hari dari siang
sampai malam hari.